Friday, February 18, 2011

malpraktik


BAB I
CONTOH KASUS
Kasus aborsi yang berujung kematian terjadi di Kediri. Novila Sutiana (21), warga Dusun Gegeran, Desa/Kecamatan Sukorejo, Ponorogo, Jawa Timur, tewas setelah berusaha menggugurkan janin yang dikandungnya. Ironisnya, korban tewas setelah disuntik obat perangsang oleh bidan puskesmas.
Peristiwa nahas ini bermula ketika Novila diketahui mengandung seorang bayi hasil hubungannya dengan Santoso (38), warga Desa Tempurejo, Kecamatan Wates, Kediri. Sayangnya, janin yang dikandung tersebut bukan buah perkawinan yang sah, namun hasil hubungan gelap yang sudah dilakukan oleh Novila dan Santoso. Santoso sendiri sebenarnya sudah menikah dengan Sarti. Namun karena sang istri bekerja menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di Hongkong, Santoso kerap tinggal sendirian di rumahnya. Karena itulah ketika bertemu dengan Novila yang masih kerabat bibinya di Ponorogo, Santoso merasa menemukan pengganti istrinya. Ironisnya, hubungan tersebut berlanjut menjadi perselingkuhan hingga membuat Novila hamil 3 bulan.
Panik melihat kekasihnya hamil, Santoso memutuskan untuk menggugurkan janin tersebut atas persetujuan Novila. Selanjutnya, keduanya mendatangi Endang Purwatiningsih (40), yang sehari-hari berprofesi sebagai bidan di Desa Tunge, Kecamatan Wates, Kediri. Keputusan itu diambil setelah Santoso mendengar informasi jika bidan Endang kerap menerima jasa pengguguran kandungan dengan cara suntik. Pada mulanya Endang sempat menolak permintaan Santoso dan Novila dengan alasan keamanan. Namun akhirnya dia menyanggupi permintaan itu dengan imbalan Rp2.100.000. Kedua pasangan mesum tersebut menyetujui harga yang ditawarkan Endang setelah turun menjadi Rp2.000.000. Hari itu juga, bidan Endang yang diketahui bertugas di salah satu puskesmas di Kediri melakukan aborsi.
Metode yang dipergunakan Endang cukup sederhana. Ia menyuntikkan obat penahan rasa nyeri Oxytocin Duradril 1,5 cc yang dicampur dengan Cynaco Balamin, sejenis vitamin B12 ke tubuh Novila. Menurut pengakuan Endang, pasien yang disuntik obat tersebut akan mengalami kontraksi dan mengeluarkan sendiri janin yang dikandungnya. "Ia (bidan Endang) mengatakan jika efek kontraksi akan muncul 6 jam setelah disuntik. Hal itu sudah pernah dia lakukan kepada pasien lainnya," terang Kasat Reskrim Polres Kediri AKP Didit Prihantoro di kantornya, Minggu (18/5/2008). Celakanya, hanya berselang dua jam kemudian, Novila terlihat mengalami kontraksi hebat. Bahkan ketika sedang dibonceng dengan sepeda motor oleh Santoso menuju rumahnya, Novila terjatuh dan pingsan karena tidak kuat menahan rasa sakit. Apalagi organ intimnya terus mengelurkan darah.
Warga yang melihat peristiwa itu langsung melarikannya ke Puskemas Puncu. Namun karena kondisi korban yang kritis, dia dirujuk ke RSUD Pare Kediri. Sayangnya, petugas medis di ruang gawat darurat tak sanggup menyelamatkan Novila hingga meninggal dunia pada hari Sabtu pukul 23.00 WIB.
Petugas yang mendengar peristiwa itu langsung menginterogasi Santoso di rumah sakit. Setelah mengantongi alamat bidan yang melakukan aborsi, petugas membekuk Endang di rumahnya tanpa perlawanan. Di tempat praktik sekaligus rumah tinggalnya, petugas menemukan sisa-sisa obat yang disuntikkan kepada korban. Saat ini Endang berikut Santoso diamankan di Mapolres Kediri karena dianggap menyebabkan kematian Novila. Lamin (50), ayah Novila yang ditemui di RSUD Pare Kediri mengaku kaget dengan kehamilan yang dialami anaknya. Sebab selama ini Novila belum memiliki suami ataupun pacar. Karena itu ia meminta kepada polisi untuk mengusut tuntas peristiwa itu dan menghukum pelaku.
BAB II
PEMBAHASAN KASUS
Novila (21) bersama selingkuhannya Santoso (38) memutuskan untuk melakukan pengguguran kandungan novila, karena saat itu Novila hamil 3 bulan hasil hubungan gelap mereka. Novila dan Santoso memutuskan untuk melakukan tindakan aborsi di tempat bidan Endang Purwatiningsih (40), yang sehari-hari berprofesi sebagai bidan di Desa Tunge, Kecamatan Wates, Kediri. Keputusan itu diambil setelah Santoso mendengar informasi jika bidan Endang kerap menerima jasa pengguguran kandungan dengan cara suntik. Pada mulanya Endang sempat menolak permintaan Santoso dan Novila dengan alasan keamanan. Namun akhirnya dia menyanggupi permintaan itu dengan imbalan Rp2.100.000. Kedua pasangan mesum tersebut menyetujui harga yang ditawarkan Endang setelah turun menjadi Rp2.000.000. Hari itu juga, bidan Endang yang diketahui bertugas di salah satu puskesmas di Kediri melakukan aborsi.
Metode yang dipergunakan Endang cukup sederhana. Ia menyuntikkan obat penahan rasa nyeri Oxytocin Duradril 1,5 cc yang dicampur dengan Cynaco Balamin, sejenis vitamin B12 ke tubuh Novila. Menurut pengakuan Endang, pasien yang disuntik obat tersebut akan mengalami kontraksi dan mengeluarkan sendiri janin yang dikandungnya. Bidan Endang mengatakan jika efek kontraksi akan muncul 6 jam setelah disuntik. Celakanya, hanya berselang dua jam kemudian, Novila terlihat mengalami kontraksi hebat. Bahkan ketika sedang dibonceng dengan sepeda motor oleh Santoso menuju rumahnya, Novila terjatuh dan pingsan karena tidak kuat menahan rasa sakit. Apalagi organ intimnya terus mengelurkan darah. Warga yang melihat langsung melarikannya ke Puskemas Puncu. Namun karena kondisi korban yang kritis, dia dirujuk ke RSUD Pare Kediri. Sayangnya, petugas medis di ruang gawat darurat tak sanggup menyelamatkan Novila hingga meninggal dunia pada hari Sabtu pukul 23.00 WIB.
Kasus malpraktik merupakan tindak pidana yang sangat sering terjadi di Indonesia. Malpraktik pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional yang bertentangan dengan SOP, kode etik, dan undang-undang yang berlaku, baik disengaja maupun akibat kelalaian yang mengakibatkan kerugian dan kematian pada orang lain.
Untuk malpraktik hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.
Dalam kasus di atas, bidan telah melakukan pelanggaran yaitu Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal
malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana
yakni:
Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan
perbuatan tercela.
Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa
kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan
(negligence).
Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis ( pasal 299 KUHP).
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi. Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
Dalam kasus tersebut bidan Endang telah melanggar ketentuan dari :
KEPMENKES RI No 900/ MENKES/SK/VII/2002 :
Pasal 25 ayat 1 yaitu “ Bidan yang menjalankan praktik harus sesuai dengan kewenangan yang diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman serta dalam memberikan pelayanan kebidanan berdasarkan standar profesi.”
Pasal 35 ayat 1 yaitu “ Bidan yang melakukan praktik dilarang :
Menjalankan praktik apabila tidak sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam izin praktik.
Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan standar profesi.”
UU Kesehatan No 23 tahun 1992 :
Pasal 15 :
Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu.
Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud ayat (1) hanya dapat dilakukan :
Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut.
Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli.
Dalam kasus tersebut yang seharusnya dilakukan oleh bidan Endang adalah :
Bidan Endang memberikan informasi tentang efek samping dari tindakan aborsi bagi pasangan Novila dan Santoso.
Karena bidan Endang sudah tahu dan sudah memberitahu efek terburuk yang akan terjadi setelah melakukan proses aborsi, bidan Endang hendaknya tetap menolak, tetap tidak melanggar norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan sehingga tidak tergiur dengan imbalan uang sebesar Rp. 2.000.000,00.
Seharusnya bidan Endang memberikan suatu alternative penyelesaian masalah secara kekeluargaan,atau meminta Novila dan Santoso untuk mengkonsultasikannya kepada dokter ahli yang berwenang, sehingga tidak melakukan indakan aborsi di tempat bidan Endang.
Bidan Endang tidak melakukan tindakan aborsi tersebut karena sudah merupakan tindakan malpraktik civil yaitu melanggar standar profesi, melanggar standar kompetensi dan standar kewenangan.
Bidan Endang bukan merupakan tenaga ahli yang mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan aborsi.
Tenaga medis tertentu yang memiliki keahlian dan kewenangan khusus untuk melakukan aborsipun sebenarnya tidak dapat melakukan tindakan aborsi tersebut karena dalam kasus diatas kehamilan Novila tidak terdapat indikasi kegawat daruratan medis.
Akibat perbuatannya, bidan Endang diancam mendapatkan hukuman :
KUHP Pasal 299
Ayat 1 yaitu “ member harapan untuk pengguguran diancam 4 tahun penjara atau pidana denda paling banyak empat puluh ribu rupiah.”
Ayat 2 yaitu “mengambil keuntungan dari pengguguran tersebut sebagai pencaharian atau kebiasaan, jija dia seorang tabib, bidan, apoteker, hukuman 4 tahun penjara ditambah sepertiganya.”
Ayata 3 yaitu “menggugurkan kandunga orang menjadi suatu profesi atau pencaharian, maka dicabut haknya untuk melakukan pencaharian itu.”
KUHP Pasal 348 yaitu “ sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya atau mengakibatkan matinya wanita tersebut, diancam pidana paling lama limatahun enam bulan, paling lama tujuh tahun.”
KUHP pasal 349 yaitu “ seorang dokter, bidan, dan apoteker membantu melakukan kejahatan tersebut dalam pasal 346, 347, dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal tersebut ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut haknya untuk menjalankan mata pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.”
KEPMENKES RI No 900/ MENKES/SK/VII/2002 pasal 42 (c) yaitu “ melakukan praktik kebidanan tidak sesui dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) ayat (2) dipidana sesuai dengan ketentuan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1996 tentang tenaga Kesehatan. ”
UU Kesehatan No 23 tahun 1992 pasal 80 yaitu “ Barang sipa dengan sengaja melakukan tindakan medis tertentu pada ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).”
BAB III
KESIMPULAN
Tindakan medis berupa pengguguran kandungan dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan norma hukum, norma agama, norma kesusilaan dan norma kesopanan. Namun dalam keadaan darurat sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan atau janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu. Indikasi medis tersebut merupakan suatu kondisi yang benar- benar mengharuskan diambil dalam tindakan medis tertentu, sebab tanpa tindakan medis tertentu itu, ibu hamil dan janinnya akan terancam bahaya maut.
Tenaga medis yang dapat melakukan tindakan medis berupa pengguguran kandungan tersebut adalah tenaga kesehatan yang memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukannya yaitu seorang dokter ahli kebidanan dan penyakit kandungan. Sehingga hal tersebut tetap tidak berlaku bagi seorang bidan, sesuai dengan Kepmenkes Nomor 900 tahun 2002 yang mengatur tentang registrasi dan praktik bidan dan UU Kesehatan No 23 tahun 1992 yang mengatur tentang kesehatan. Didalamnya termuat aturan, apa yang dapat dikerjakan bidan dan apa yang tidak dapat dikerjakan bidan, jadi semua itu ada batasan-batasannya. Bidan tidak dibenarkan melayani aborsi. Jika ditemukan ada bidan yang melakukan aborsi, Itu sudah jelas melanggar aturan-aturan yang ada. Disamping itu, juga melanggar etika profesi dan aturan yang lain. Bidan tidak berwenang melakukan aborsi karena kewenangan bidan tidak sampai disitu.
Selain hal diatas tadi, aborsi di negara kita masih tidak dibenarkan, apapun alasannya. Dan jika memang terbukti bersalah, maka bidan akan diserahkan kepada pihak yang berwenang untuk diproses secara hukum, sesuai dengan hukum yang berlaku, dan jika memang ditemukan ada bidan yang melakukan atau melayani aborsi, dan terbukti melanggar hukum, selain diserahkan kepada pihak yang berwajib, IBI juga akan memberikan sanksi tegas, yaitu mencabut izin prakteknya.
Untuk itu disetiap wilayah harus ada penanggungjawab wilayah, yang melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap aparat-aparat kesehatan, termasuk kerja bidan. Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga kesehatan, maka hendaknya tenaga kesehatan diharapkan untuk selalu bertindak hati-hati, yakni:
1.       Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).
2.       Tidak melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan.
3.       Tidak melalaikan kewajiban (negligence)
4.       Tidak Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.
5.       Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed
consent.
6.       Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
7.       Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada dokter supervisor.
8.       Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan
segala kebutuhannya.
9.       Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan
masyarakat sekitarnya.

0 comments:

Post a Comment